'Begitu mudahnya kata 'cinta' terucap
Seperti menguap kala kantuk menyergap'
Selasa, 28 Desember 2010
Rabu, 15 Desember 2010
Detak
"Anakku, jatuhkan tatapanmu ke dalam mataku"
"Aku telah melihatnya, Ayah!"
"Apa yang kau dapati di sana?"
"Lautan api, bangkai, dan sekuntum bunga membusuk, Ayah!"
"Anakku, lihat kembali dalam-dalam mataku"
"Aku telah melihatnya, Ayah!"
"Apa yang kau dapati di sana?"
"Aku melihat jasadmu, memelukku."
"Aku telah melihatnya, Ayah!"
"Apa yang kau dapati di sana?"
"Lautan api, bangkai, dan sekuntum bunga membusuk, Ayah!"
"Anakku, lihat kembali dalam-dalam mataku"
"Aku telah melihatnya, Ayah!"
"Apa yang kau dapati di sana?"
"Aku melihat jasadmu, memelukku."
Senin, 13 Desember 2010
Mimpi, Mati
-Perempuan itu melipat kembali mimpi-mimpinya. Dalam peti mungil, ia akan menyimpannya baik-baik. Menjelang subuh yang gerimis, orang-orang tampak mengerumuni sesosok mayat dengan pesan di samping mulutnya yang sedikit menganga, "kuburkan aku bersama mimpi itu."-
Rabu, 01 Desember 2010
Selasa, 30 November 2010
Demi Waktu
Demi waktu,
Planet-planet berarak menjemput senja
Usia-usia memuai menjemput renta
Demi waktu,
Jiwa-jiwa patah ditikam angkara
Planet-planet berarak menjemput senja
Usia-usia memuai menjemput renta
Demi waktu,
Jiwa-jiwa patah ditikam angkara
Minggu, 28 November 2010
Senin, 22 November 2010
Tuhan, Aku Ingin Muntah!
Aku ingin membunuhmu berkali-kali
Merobek mulutmu
Meremuk tulang belulangmu
Aku ingin muntahi hatimu
Aku ingin bunuh pikiranmu
Otakmu!
Kemaluanmu!
Aku ingin membunuhmu berkali-kali
Hingga Tuhan tak mampu menghidupkanmu lagi
Merobek mulutmu
Meremuk tulang belulangmu
Aku ingin muntahi hatimu
Aku ingin bunuh pikiranmu
Otakmu!
Kemaluanmu!
Aku ingin membunuhmu berkali-kali
Hingga Tuhan tak mampu menghidupkanmu lagi
Minggu, 21 November 2010
Sabtu, 20 November 2010
Jumat, 19 November 2010
Minggu, 14 November 2010
Bermimpi Tuhan
Aku ingin mencipta makhluk sebanyak yang aku mampu
Dari jenis manusia, malaikat, binatang, makhluk halus, alam semesta
Lalu baginya kupercikkan sebagian jiwaku, kasih sayangku
Tanpa nafsu
Tanpa angkara
Selasa, 09 November 2010
Rabu, 03 November 2010
Minggu, 31 Oktober 2010
Minggu, 24 Oktober 2010
Senin, 20 September 2010
Sabtu, 04 September 2010
Jumat, 03 September 2010
Seni Transendental
Di hadapan ribuan pengunjung, ia mencipta jeda.
Mematung sejenak.
Ruangan itu disulap seperti kamar mayat.
Mulut-mulut mengatup.
Orang-orang mematung.
Seperti arca. Tak bergerak.
Bola-bola mata menghujaninya tanya.
Tiba-tiba meledak komposisi aneh.
Nadanya menjerit-jerit. Makin lama makin memekik, seperti pekik malaikat pencabut nyawa sedang membunuh diri.
Suara itu beranjak menjauh, meninggalkan ruangan.
Orang-orang masih mematung.
Kini bola-bola mata menguhjani gelap.
'Saudara-saudara, pentas kali ini bertajuk: Seni Pembacaan Diri.'
Lampu-lampu sorot seperti bola mata raksasa itu membelalak tiba-tiba. Secepat kilat menyala.
Cahayanya tumpah menggenangi lantai berwarna merah darah.
Orang-orang saling menatap.
Memerhatikan tubuhnya.
Menepuk-nepuk, meraba sekujur tubuhnya.
Tak lama, mereka sudah berhamburan seperti kelelawar muntah dari sarang.
Di rumah mereka, jasad dirinya terbungkus kain kafan, penuh bercak darah, terbujur kaku. Segera dikubur.
Mematung sejenak.
Ruangan itu disulap seperti kamar mayat.
Mulut-mulut mengatup.
Orang-orang mematung.
Seperti arca. Tak bergerak.
Bola-bola mata menghujaninya tanya.
Tiba-tiba meledak komposisi aneh.
Nadanya menjerit-jerit. Makin lama makin memekik, seperti pekik malaikat pencabut nyawa sedang membunuh diri.
Suara itu beranjak menjauh, meninggalkan ruangan.
Orang-orang masih mematung.
Kini bola-bola mata menguhjani gelap.
'Saudara-saudara, pentas kali ini bertajuk: Seni Pembacaan Diri.'
Lampu-lampu sorot seperti bola mata raksasa itu membelalak tiba-tiba. Secepat kilat menyala.
Cahayanya tumpah menggenangi lantai berwarna merah darah.
Orang-orang saling menatap.
Memerhatikan tubuhnya.
Menepuk-nepuk, meraba sekujur tubuhnya.
Tak lama, mereka sudah berhamburan seperti kelelawar muntah dari sarang.
Di rumah mereka, jasad dirinya terbungkus kain kafan, penuh bercak darah, terbujur kaku. Segera dikubur.
Kamis, 26 Agustus 2010
Yang Lain
Moss rose-Portulaca-Zinnia, dan rumpun flora hias lainnya termengap-mengap dicekik vases
Dalam kotak kaca, berair, gerombolan kecil ikan hias ditindas
Binatang-binatang di kebun binatang melihat manusia mirip jalang
O, empati
Gedung tua ini mendekapku bertahun-tahun
Tidakkah ia sebenarnya fasih bertutur dengan caranya sendiri?
Bahkan..
Jagat semesta.
Aku di sini menyulut angkara; melumat janji. Pembual.
Rabu, 25 Agustus 2010
Hasbi dan Kesendirian
Hasbi, seorang pemuda, bujang lapuk. Usianya telah menginjak kepala empat. Ia tinggal bersama saudaranya, Sunaiyah. Ia tinggal beberapa meter ke arah utara dari rumahku.
Hari-harinya dilalui sebagai pekerja upahan dan menjual celurit. Pada malam hari, sering kali ia kulihat berada diantara orang orang yang mengerumuni secangkir kopi; sekedar menuntaskan rutinitas hidup sekaligus menjajakan barang miliknya, celurit.
8 bulan yang silam, petaka mengoyak kampung halamannya. Ia terlibat konflik dengan saudara dan kemenakan perempuannya. Buntutnya, ia harus keluar dari rumahnya. Hasbi pergi tak membawa apa-apa, kecuali beberapa helai pakaian dan gubuk renta miliknya.
Kini, sudah 8 bulan berlalu, Hasbi tinggal di bukit lancaran, seorang diri, tanpa istri tanpa empati. Ia memancang gubuknya yang renta di sebelah timur gedung sekolah yang megah. Gubuknya beralaskan kayu lapuk, berdinding anyaman bambu. Tampak beberapa seng karatan menempel tak teratur dibagian luar.
Malam bertandang. Angin menyergap Hasbi, menerjang masuk pori-pori gubuknya, menusuk-nusuk tubuhnya yang kurus dan kering. Malam, dingin, dan kesendirian, mencekiknya tak usai-usai.
Pernah suatu ketika kutanya, kenapa tak memelihara ternak saja. Jangankan ternak, beberapa helai pakaian lusuh dan jam tangan bermerek Rado, harta karun paling berharga miliknya, juga uang kertas penyambung hidup yang ia simpan rapi, diobrak setan berkaki dua; pencuri!
Sore itu, 11 Agustus 2010, 17.05 wib, sambil tersenyum ramah, ia merangkai cerita pahit getir hidupnya seorang diri di bukit lancaran, di sebelah gedung sekolah yang megah. Ia bercerita dengan penuh tegar.
Tak kulihat wajah dan mimiknya mengemis iba. Matanya berbinar-binar. Senyumnya mengalun mengiringi tiap cerita lukanya yang gelap. Cerita yang berdarah.
Semakin ia tersenyum. Semakin luka kurasa. O, Hasbi..
Hari-harinya dilalui sebagai pekerja upahan dan menjual celurit. Pada malam hari, sering kali ia kulihat berada diantara orang orang yang mengerumuni secangkir kopi; sekedar menuntaskan rutinitas hidup sekaligus menjajakan barang miliknya, celurit.
8 bulan yang silam, petaka mengoyak kampung halamannya. Ia terlibat konflik dengan saudara dan kemenakan perempuannya. Buntutnya, ia harus keluar dari rumahnya. Hasbi pergi tak membawa apa-apa, kecuali beberapa helai pakaian dan gubuk renta miliknya.
Kini, sudah 8 bulan berlalu, Hasbi tinggal di bukit lancaran, seorang diri, tanpa istri tanpa empati. Ia memancang gubuknya yang renta di sebelah timur gedung sekolah yang megah. Gubuknya beralaskan kayu lapuk, berdinding anyaman bambu. Tampak beberapa seng karatan menempel tak teratur dibagian luar.
Malam bertandang. Angin menyergap Hasbi, menerjang masuk pori-pori gubuknya, menusuk-nusuk tubuhnya yang kurus dan kering. Malam, dingin, dan kesendirian, mencekiknya tak usai-usai.
Pernah suatu ketika kutanya, kenapa tak memelihara ternak saja. Jangankan ternak, beberapa helai pakaian lusuh dan jam tangan bermerek Rado, harta karun paling berharga miliknya, juga uang kertas penyambung hidup yang ia simpan rapi, diobrak setan berkaki dua; pencuri!
Sore itu, 11 Agustus 2010, 17.05 wib, sambil tersenyum ramah, ia merangkai cerita pahit getir hidupnya seorang diri di bukit lancaran, di sebelah gedung sekolah yang megah. Ia bercerita dengan penuh tegar.
Tak kulihat wajah dan mimiknya mengemis iba. Matanya berbinar-binar. Senyumnya mengalun mengiringi tiap cerita lukanya yang gelap. Cerita yang berdarah.
Semakin ia tersenyum. Semakin luka kurasa. O, Hasbi..
Senin, 23 Agustus 2010
Jumat, 13 Agustus 2010
Rabu, 11 Agustus 2010
Pesolek Buruk Rupa

Para pesolek buruk rupa
Parasnya merengut dibalut rias kosmetika
Senyumnya dibuat mengembang
Jalannya diatur melenggang
Hatinya was-was
Khawatir tak menarik
Saat dieksploitasi publik
Para pesolek buruk rupa
Dibidik industri dan iklan pembual
Korban kapitalisme idiot
Di angkasa raya
Globalisasi mengangkara
Para pesolek buruk rupa
Gemuruh kota merenggut eksistensi
Hentakan mode dan gaya hidup
Menampar jantungnya kian berdegup
Para pesolek buruk rupa
Konsumerisme menerjang pintu-pintu rumah
Yang dibangunnya dengan susah payah
Dari uang pas-pasan hasil kerja kasar
Di dalam, televisi mencekik otaknnya
Senin, 09 Agustus 2010
Senin, 26 Juli 2010
Jumat, 23 Juli 2010
Kamis, 15 Juli 2010
Kamis, 24 Juni 2010
Selasa, 01 Juni 2010
Selasa, 18 Mei 2010
Sabtu, 08 Mei 2010
Sabtu, 01 Mei 2010
Jumat, 23 April 2010
Kamis, 22 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)