Jumat, 03 September 2010

Seni Transendental

Di hadapan ribuan pengunjung, ia mencipta jeda.
Mematung sejenak.


Ruangan itu disulap seperti kamar mayat.
Mulut-mulut mengatup.
Orang-orang mematung.
Seperti arca. Tak bergerak.
Bola-bola mata menghujaninya tanya.


Tiba-tiba meledak komposisi aneh.
Nadanya menjerit-jerit. Makin lama makin memekik, seperti pekik malaikat pencabut nyawa sedang membunuh diri.

Suara itu beranjak menjauh, meninggalkan ruangan.


Orang-orang masih mematung.
Kini bola-bola mata menguhjani gelap.


'Saudara-saudara, pentas kali ini bertajuk: Seni Pembacaan Diri.'

Lampu-lampu sorot seperti bola mata raksasa itu membelalak tiba-tiba. Secepat kilat menyala.
Cahayanya tumpah menggenangi lantai berwarna merah darah.

Orang-orang saling menatap.
Memerhatikan tubuhnya.
Menepuk-nepuk, meraba sekujur tubuhnya.

Tak lama, mereka sudah berhamburan seperti kelelawar muntah dari sarang.

Di rumah mereka, jasad dirinya terbungkus kain kafan, penuh bercak darah, terbujur kaku. Segera dikubur.

Tidak ada komentar: