Rabu, 25 Agustus 2010

Hasbi dan Kesendirian

Hasbi, seorang pemuda, bujang lapuk. Usianya telah menginjak kepala empat. Ia tinggal bersama saudaranya, Sunaiyah. Ia tinggal beberapa meter ke arah utara dari rumahku.

Hari-harinya dilalui sebagai pekerja upahan dan menjual celurit. Pada malam hari, sering kali ia kulihat berada diantara orang orang yang mengerumuni secangkir kopi; sekedar menuntaskan rutinitas hidup sekaligus menjajakan barang miliknya, celurit.

8 bulan yang silam, petaka mengoyak kampung halamannya. Ia terlibat konflik dengan saudara dan kemenakan perempuannya. Buntutnya, ia harus keluar dari rumahnya. Hasbi pergi tak membawa apa-apa, kecuali beberapa helai pakaian dan gubuk renta miliknya.

Kini, sudah 8 bulan berlalu, Hasbi tinggal di bukit lancaran, seorang diri, tanpa istri tanpa empati. Ia memancang gubuknya yang renta di sebelah timur gedung sekolah yang megah. Gubuknya beralaskan kayu lapuk, berdinding anyaman bambu. Tampak beberapa seng karatan menempel tak teratur dibagian luar.

Malam bertandang. Angin menyergap Hasbi, menerjang masuk pori-pori gubuknya, menusuk-nusuk tubuhnya yang kurus dan kering. Malam, dingin, dan kesendirian, mencekiknya tak usai-usai.

Pernah suatu ketika kutanya, kenapa tak memelihara ternak saja. Jangankan ternak, beberapa helai pakaian lusuh dan jam tangan bermerek Rado, harta karun paling berharga miliknya, juga uang kertas penyambung hidup yang ia simpan rapi, diobrak setan berkaki dua; pencuri!

Sore itu, 11 Agustus 2010, 17.05 wib, sambil tersenyum ramah, ia merangkai cerita pahit getir hidupnya seorang diri di bukit lancaran, di sebelah gedung sekolah yang megah. Ia bercerita dengan penuh tegar.

Tak kulihat wajah dan mimiknya mengemis iba. Matanya berbinar-binar. Senyumnya mengalun mengiringi tiap cerita lukanya yang gelap. Cerita yang berdarah.

Semakin ia tersenyum. Semakin luka kurasa. O, Hasbi..

3 komentar:

Ahmad Sahidah mengatakan...

Hasbi telah memilih hidupnya sendiri. Jarang, orang melakukan ini karena tak berani menanggung sepi.

Ia layak mengajar filsafat eksistensialisme, karena pikir dan laku menyatu. :-D

Muhammad-Affan mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Muhammad-Affan mengatakan...

terima kasih apresiasinya, Mas Sahidah.