Sabtu, 15 Januari 2011

Aku Anak Desa


Ketika hujan mulai berjatuhan, sawah-sawah menjadi basah dan ranum. Para petani tumpah ruah.

Sebulan, dua bulan, rerimbunan anak padi mulai menjulang. Batang tubuhnya yang mungil, menari-nari, mendesir disisir angin. Di sepanjang bibir pematang sawah, suara gemericik air mengalir menyusuri parit-parit, seolah berkejaran di antara celah bebatuan. Tampak gerombolan ikan kecil berenang melawan arus air.

Di setiap permulaan pagi yang diberkahi, matahari selalu membasahinya dengan cahaya kuning keemasan.

Coba lihat bulir-bulir air yang menggelantung di batang-batang padi itu! Setiap pagi ia memantulkan cahaya yang sangat indah, seperti ribuan kelopak mata bayi peri yang mengerling.

Dari kejauhan, aku sudah tak melihat lagi padi menghampar. Aku seakan melihat Ia, melempar senyumnya yang paling indah untukku. Ya, untuk aku, anak desa.

Kelak, setelah usia-usia menjelma renta, masihkah benih-benih itu melihat alamnya seperti sekarang?

Tidak ada komentar: